Lagunya yang berjudul “Andai Aku Jadi Gayus Tambunan” sempat menjadi puncak lagu popular belakangan ini, namun konsekuensinya ia harus diteror dan acapkali menjadi bintang tamu disetiap acara di beberapa stasiun televisi.
Namun dalam tulisan ini, saya bukan berarti mengikuti jejak musisi asal Gorontalo tersebut yang juga ingin menjadi penyanyi namun dengan judul lagu yang berbeda. Tapi disini saya akan, mendiskripsikan kalau saya ataupun kita semua, jika menjadi seorang Presiden.
Minimal wakil rakyat. Namanya juga bermimipi, setidaknya harus setinggi-tingginya. Mubazir kalau hanya bermimpi jadi Kepala Desa ataupun PNS(Pegawai Negeri Sipil). Nanggung!
Tidak ada bedannya seperti ejaan lagu pak Bona yang ingin menjadi Gayus, bisa kesana kemari melenggang buana, bebas dengan hasil korupsi yang di lakukan. Begitupun “jika aku menjadi Presiden” pun ternyata lebih “besar” enaknya.
Berbeda 180 derajad dengan Si Gayus. Jika aku atau kita semua jadi Presiden, tentunya bisa keluar negeri kapanpun dengan terhormat, tanpa harus dicurigai oleh semua pihak khususnya masyarakat yang saat ini super kritis.
Tidak ada lagi yang menanyakan, “mau ngapain keluar negeri?”. Jelaslah bahwa, pemimpin bolak-balik ke negerinya orang ada maksud dan tujuan. Melakukan beragam kerjasama yang menguntungkan dan berujung pada penandatangan MoU. Bukan hanya itu menjadi presiden pun begitu membanggakan luar biasa. Tak tertandingi dengan apapun.
Apalagi, bagi siapapun saat ini yang ingin bertemu dengan Presiden harus memiliki syarat “khusus yang istimewa”. Hal istimewa yang dimaksud tersebut yaitu berprestasi di bidang apapun, menjadi pemimpin daerah ataupun wakil rakyat,terkena “musibah dahyat”,medonorkan darah sebanyak 100 kali, sebagai relawan, penemu/ilmuan, dan syarat ‘khusus’ lainnya.
Selain itu belakangn ini hal yang menjadi ‘khusus dan istimewa’ mengenai gossip kepersidenan yaitu curhatan kenaikan gajih Presiden RI. Pidato yang sekaligus disebut-sebut sebagai guyonan SBY mengenai gajihnya yang tidak pernah nai-naik selama 7 tahun ,mendapat respon yang “unik”,khususnya dari pihak oposisi yang anti dengan pemerintahan saat ini.
Namun dari jajaran kabinetnnya menegaskan bahwa Presiden menyampaikan hal tersebut(gajih) di depan pimpinan TNI dan Polri sebagai pesan yang paling penting agar menstimulasi kinerja dari pimpinan dan seluruh jajaran TNI dan Polri. Sehingga pengabdian yang dilakukan lebih optimal tanpa perlu memikirkan yang lain.
Disatu sisi ada benarnya, namun disisi lain itu pun menimbulkan pertanyaan besar dihadapan benak rakyat Indonesia, kenapa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus menyebutkan hal itu, bukankah ada agenda yang lainnnya yang lebih penting?
Berdasarkan catatan Bagian Anggaran Kementerian Keuangan, gaji pokok Presiden Rp 30,24 juta dan tunjangan Rp 32,5 juta. Total pendapatan sekitar Rp 62,7 juta per bulan. Namun, Presiden masih memiliki dana taktis sebesar Rp 2 miliar per bulan.
Jadi saya kira itu sangat melebihi dari kata cukup, dibandingkan rakyat di negeri ini yang harus hidup dibawah garis kemiskinan, tanpa ada dana taktis seperti Presiden yang menggiurkan. Kalau saya ataupun kita semua jadi Presiden pun, “mikir-mikir” dulu untuk sekadar curhat ataupun meminta kenaikan gajih, daripada diserang “mentah-mentah”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar